Banner

Dien Kuswardani: Mengabdi dengan Sepenuh Hati untuk IDI

Menetap di satu tempat dalam waktu yang lama mungkin saja memberikan rasa bosan. Tapi, ada kalanya memilih untuk tinggal lebih lama adalah sebuah pilihan. Kiranya itulah jalan hidup yang dipilih oleh Dien Kuswardani, atau yang akrab disapa Bu Dien oleh para staf di Sekretariat Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). Dalam momen Hari Kartini yang jatuh pada 21 April ini, IDI Online ingin mengulas lebih dalam sosok Bu Dien yang sudah mengabdikan dirinya bekerja selama lebih dari 30 tahun. Tentunya bukan waktu yang sebentar dan patut diberikan apresiasi karena dedikasinya selama ini. 

Dien Kuswardani

Bu Dien pertama kali menginjakkan kakinya di kantor Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) pada tahun 1988. Kala itu ia diajak oleh dr. Purnomo Prawiro yang saat itu menjabat sebagai Bendahara Umum. Bu Dien bercerita jika ia diminta bantuan untuk menghandle beberapa program. Dia yang baru lulus kuliah pun kaget dibuatnya, lantaran langsung dipanggil ke kantor untuk bertemu dengan para pengurus PB IDI yang saat itu masih dipimpin oleh Prof. Dr. dr. Azrul Azwar, M.P.H.. 

“Saya kaget dan jujur saja tidak ada bayangan, IDI itu apa, seperti apa. Saat saya datang ke kantor, gedungnya belum seperti sekarang ini. Kayak museum yang bentuknya kuno, seperti bangunan bersejarah lah. Saya bertanya-tanya, saya akan diminta apa ya? Ternyata dijelaskan jika saat itu PB IDI sedang ada program baru yang tujuannya untuk mensejahterakan anggota. Saya juga diceritakan bagaimana kerjanya. Saya lalu baca-baca terkait job desknya, dan saya pikir saya bisa mengerjakannya dan mulai bekerja keesokan harinya,” cerita Bu Dien. 

Setelah resmi bergabung, Bu Dien langsung incharge menghandle program Doctors Club di bawah arahan dr. Purnomo Prawiro  yang menjabat sebagai Ketua Program. Program tersebut hadir berupa discount card yang bisa digunakan untuk mendapatkan diskon tertentu yang bekerja sama dengan beberapa merchants, seperti toko buku, restoran, hotel, bengkel, dan lain-lain. 

Singkatnya, kalau kartu tersebut ditunjukkan ke merchants yang bekerja sama, mereka akan mendapatkan diskon mulai dari 10-20 persen. Diceritakan pula jika saat itu para anggota IDI cukup antusias, karena jika bergabung dengan Doctors Club mereka akan mendapatkan benefit khusus yang bisa dinikmati oleh anggota IDI. Program Doctors Club berjalan mulai dari tahun 1989 sampai beberapa tahun setelahnya. 

“Ketika itu, kita juga ada kerjasama dengan sebuah bank swasta dengan penawaran kredit jika ingin buka praktek pribadi dan membutuhkan dana untuk membangun tempat prakteknya, atau mau menambah sarana di tempat praktek, mereka bisa menggunakan Kredit Profesi yang bisa membantu memudahkan para dokter,” ujarnya. 

Bu Dien saat itu masih berusia 25 tahun, ibaratnya mungkin dalam fase quarter life. Diakuinya ada rasa minder karena harus bekerja di PB IDI yang notabene isinya adalah dokter-dokter, tapi karena dia diberikan kepercayaan penuh oleh dr. Purnomo, anak kedua dari lima bersaudara ini pun akhirnya berusaha dan berjuang untuk menjalankan tugas yang diamanatkan kepadanya. 

Ada hal yang membuat Bu Dien merasa shock, waktu itu adalah pertama kalinya Bu Dien mengikuti Mukernas ( Musyawarah Kerja Nasional) IDI di Bogor pada tahun 1990. Hajatannya adalah membahas masalah-masalah organisasi, evaluasi kepengurusan, dan lain-lain. Disitu untuk pertama kalinya, diminta oleh Dr. Purnomo, memberikan presentasi tentang program Doctors Club di depan peserta Sidang Komisi yang membahas tentang Kesejahteraan Anggota 

Orang-orang disekitar Bu Dien pun sempat sering bertanya-tanya kepadanya terkait pekerjaan yang dilakukan di IDI. Beberapa menyambut baik, tapi sebagian ada juga yang justru menganggap remeh, karena pada saat itu pekerjaan yang dianggap membawa potensi karier adalah dengan bekerja di bank atau mungkin menjadi PNS.

”Orang-orang tuh menganggap karena bekerja di IDI, yang notabene isinya adalah dokter-dokter, pekerjaannya berhubungan dengan kedokteran. Padahal tidak harus dokter, kan? Mereka juga bertanya ke saya, ngapain sih di IDI ini. Ya saya jelaskan, kalau di IDI ini juga dibutuhkan orang-orang yang backgroundnya di luar kedokteran, karena terkait dengan mengelola administrasi perkantoran sebuah organisasi.

Bu Dien mengungkapkan jika saat masa-masa awal bekerja, ada banyak hal yang harus diadaptasi dan bahkan diubah, khususnya terkait sistem dan aturan kerja. Semakin hari, yang bekerja di IDI semakin bertambah, sedangkan pada saat itu bisa dibilang belum ada sistem kerja yang jelas, seperti absen, penggajian, jam kerja, beban kerja, dan lain-lain. 

“Bekerja di IDI ini sistemnya itu kekeluargaan. Tapi, saya berpikir bagaimana caranya supaya kita bisa mengubah sistem dan tidak menimbulkan kecemburuan dari orang-orang yang sudah bekerja dengan baik. Akhirnya mulai ada aturan terkait sistem kerja yang dirasa tidak akan ada lagi kecemburuan sosial satu sama lain,” tuturnya. 

Melihat Bedanya IDI Dulu dan Sekarang


Puluhan tahun mengabdikan dirinya dengan bekerja di IDI, Bu Dien bisa dianggap sebagai saksi bagaimana organisasi kedokteran ini bertumbuh dan berkembang lebih jauh. Mulai dari bangunan yang tadinya jadul hingga kini tampak lebih modern dan jauh lebih besar. 

Pun begitu, dari segi komunikasi dan koordinasi. Tentu kita pun tahu, jika zaman dulu alat komunikasi itu mahal harganya, dan tidak semua bisa memilikinya. Perempuan kelahiran Pontianak,  3 Maret 1963 ini sempat merasakan akses komunikasi yang terbatas yang mana jika ingin berkomunikasi harus melalui telepon bahkan fax. Nah, sekarang seiring dengan berkembangnya zaman dan teknologi, ada banyak kemudahan yang bisa dinikmati. 

Saat ini kita bisa dengan mudah berbalas chat di aplikasi berbalas pesan, seperti WhatsApp, Telegram, serta LINE. Jika ingin mengirim dokumen penting pun tidak harus mengirim melalui kantor pos, tapi bisa dikirim melalui email yang sampai pada saat itu. Selain itu, jika ingin melakukan pertemuan dan ada halangan, bisa memanfaatkan video call, ZOOM Meeting, dan berbagai teknologi lainnya. 

“Jadi pengurus di IDI itu kan tidak dibayar sistemnya secara sukarela. Kami hanya bisa memberikan sekadar uang transport  saat hadir rapat yang mungkin tidak seberapa bagi mereka nilainya. Malah bisa dibilang menjadi pengurus itu tidak digaji, tapi justru banyak mengeluarkan uang pribadi,” terangnya.

Bu Dien menjelaskan jika dokter-dokter yang tergabung dalam PB IDI berasal dari berbagai latar belakang dan memiliki kesibukan masing-masing. Ada yang jadi dosen, praktek di rumah sakit, pengusaha, dan beragam kesibukan lainnya. Bisa dibilang ada masa-masa dimana para staf itu harus siap sedia, karena harus menyesuaikan jadwal dengan kesibukan para pengurus. Jadi, kadang ada momen dimana hari kerja bisa sampai malam, dan weekend masih harus berurusan dengan pekerjaan. 

“Hal yang membuat saya terenyuh itu, meskipun notabene para pengurus itu dokter, tapi mereka tidak merendahkan kita-kita yang statusnya hanya staf. Mereka menghargai. Pernah suatu waktu saya bertemu dengan dokter di salah satu bagian  di RSCM, ada seorang dokter muda yang menyapa dan menanyakan kabar saya. Ternyata dulunya dia adalah mahasiswa  aktivis ISMKI yang dulu sering datang ke kantor IDI, dan saat ini dia sudah jadi dokter spesialis. Ternyata walaupun sudah lama tidak bertemu, tapi dia masih mengingat saya,” akunya. 

Sosok Bu Dien, baik di Sekretariat PB IDI atau bahkan di PB IDI sendiri bisa dibilang dianggap sebagai ibunya para dokter, dan seseorang yang dituakan, dan juga harum namanya. Dia pun merasa senang keberadaannya diapresiasi oleh orang lain. Mungkin bagi beberapa orang itu hal yang biasa, tapi bagi Bu Dien merupakan hal yang tidak ternilai harganya, Terkadang dirinya juga mendapat kemudahan ketika harus berurusan dengan hal-hal medis, semua berkat Bu Dien ada di sini, bekerja untuk IDI. 

“Ketika saya sedang bekerja dengan mereka, kadang saya memperhatikan kok mereka mau ya memberikan sesuatu yang effort untuk organisasi ini, padahal apa yang mereka dapatkan pun tidak seberapa, dan nilainya tidak bisa dibilang besar. Melihat hal itu akhirnya membuat saya berpikir, mereka saja mau seperti itu, kenapa kita yang dibayar dan bekerja untuk IDI tidak memberikan effort yang sama seperti yang mereka lakukan,” bebernya. 

Membersamai Belasan Pergantian Kepengurusan di IDI


Kebanyakan para staf yang bekerja di Sekretariat PB IDI adalah perempuan. Jika berbicara soal persentasenya, 75 persen itu merupakan perempuan, dan 25 persennya baru laki-laki. 

Bu Dien sudah menjadi saksi silih bergantinya kepemimpinan di organisasi ini. Kalau dihitung, Bu Dien sudah membersamai belasan pergantian kepemimpinan atau kepengurusan bersama dengan orang-orang yang berbeda. Mulai dari kepemimpinan dr. Azrul Azwar (1988-1991), dr. Kartono Mohamad (1991–1994), dr. Azrul Azwar, MPH (1994–1997), dr. Merdias Almatsier (1997–2000), Dr. dr. Ahmad Djojosugito (2000–2003), Prof. Dr. F. A. Moeloek, Sp.OG (K) (2003-2006), Dr. dr. Fachmi Idris, M.Kes. (2006–2009), dr. Prijo Sidipratomo, Sp.Rad (2009–2012), dr. Zaenal Abidin, SH. MH (2012–2015), Prof. dr. Ilham Oetama Marsis, SpOG (K) (2012–2018), dr. Daeng M. Faqih, SH, MH (2018–2021), dan saat ini dalam masa kepemimpinan Dr.dr. Muhammad Adib Khumaidi Sp.OT (2022–2025). 

“Setiap pergantian  kepengurusan di PB IDI, saya selalu berpesan kepada teman-teman yang bekerja di sini, agar jangan membandingkan apa yang ada di masa kini dengan hal-hal yang sudah terjadi di masa lalu. Prinsipnya harus sama-sama menyesuaikan diri, tapi tetap tidak boleh merasa sok tahu. Ikuti saja,” ujarnya. 

Bu Dien berucap jika, bisa jadi bekerja di tempat lain gajinya mungkin lebih tinggi, tapi bekerja di sini disebutnya bisa menjamin kenyamanan dan kemudahan. Apalagi bagi para staf yang mungkin sudah berkeluarga, khususnya perempuan, banyak kemudahan dan kelonggaran yang diberikan yang membuat kita nyaman sebagai perempuan yang bekerja tetapi juga harus mengurus rumah tangga dan anak.

Berkaitan dengan Hari Kartini, Bu Dien sadar betul jika perempuan itu kodratnya menjadi seorang Ibu, melahirkan, mengurus rumah tangga, serta mendidik anak. Tapi, seiring berkembangnya zaman ternyata tidak harus seperti itu. 

“Memang kodratnya seperti itu, tapi setiap perempuan itu berhak memilih jalan hidupnya masing-masing. Perempuan tidak melulu harus di rumah, tapi dia juga bisa membantu suami dengan bekerja, dan membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga untuk support pasangan. Apalagi jika perempuan tersebut berpendidikan tinggi, yang mana bisa jadi pembuka jalan untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik dan lebih luas lagi,” tegasnya. 

Meski demikian, menurutnya laki-laki juga seharusnya tidak melarang istrinya yang ingin tetap bekerja dan berkarya. Tapi, tidak ada yang salah jika perempuan memutuskan untuk jadi ibu rumah tangga setelah menikah, sebab itu adalah pilihan mereka, mau menetap atau memilih meninggalkannya. 

Baginya, menjadi perempuan yang menjadi ibu rumah tangga itu hal yang hebat, karena mereka bisa dan mampu mengerjakan semua pekerjaannya di rumah. Di luar itu, kita juga tidak boleh mengecilkan keputusan perempuan yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Women support women! 

Bu Dien bersyukur hidup dan besar di lingkungan keluarga yang paham dan mengerti apa yang dia lakukan. Ibaratnya mereka menyadari apa yang terbaik untuk dirinya. 

“Mereka mengaku senang melihat saya kerja, dan saya juga orangnya senang sekali bekerja, jadi kadang saya kalau sudah mengerjakan sesuatu pasti fokus. Prinsip saya, pekerjaan  saat itu harus diselesaikan hari itu juga, kalau ditunda nantinya tidak akan selesai, karena pasti keesokan hari ada pekerjaan lain yang harus diselesaikan,” tegasnya. 

Pesan Bu Dien untuk IDI


Bu Dien sempat menjabat sebagai Staf Program, Sekretaris Eksekutif, hingga saat ini ia memegang posisi Manajer Eksekutif ini bisa dibilang menjadi ‘ibunya para staf’ sekaligus ‘ibunya para dokter’. Bagaimana tidak, setengah dari umur IDI yang kini sudah berusia 73 tahun, Bu Dien menghabiskan waktu selama 36 tahun untuk bekerja di tempat ini. 

“Saya kerap mendapatkan banyak pertanyaan terkait apa yang saya dapatkan dengan bekerja di sini, tapi bagi saya ada hal-hal yang nilainya tidak bisa diganti dengan uang. Allah SWT yang sejatinya adalah Maha Pemberi Rezeki. Itulah yang membuat saya bertahan selama puluhan tahun di tempat ini, yang bagi saya tidak ternilai harganya,” ucapnya. 

Menjelang masa pensiunnya, perempuan berusia 61 tahun ini ingin menyampaikan rasa terima kasihnya kepada segenap para pengurus PB IDI terdahulu yang ketika dirinya masuk mungkin belum mengerti apa-apa. Mereka dengan dengan, sabar mengajari Bu Dien, sampai akhirnya dia bisa bertahan sampai puluhan tahun di sini. 

“Setiap pergantian periode kepemimpinan, Alhamdulillah saya bisa terus mengikuti dan beradaptasi. Masing-masing periode mungkin berbeda-beda orangnya, tapi saya berprinsip untuk tidak membeda-bedakan. Bahkan sampai orang-orang lama sudah tidak jadi pengurus pun, saya masih tetap berhubungan baik dengan mereka,” jelasnya. 

Bu Dien menyampaikan rasa terima kasihnya karena diterima bekerja di PB IDI selama 36 tahun. Dia mengaku mendapatkan banyak hal dan pengalaman yang mahal. Baginya, IDI adalah organisasi besar dan diakui oleh banyak orang. Walaupun ada berbagai pihak yang mencoba berusaha menggoyahkan tubuh IDI, tapi orang-orang di dalamnya tetap kompak. 

“Walaupun setiap periode juga memiliki karakteristik kepemimpinan yang berbeda, tapi begitu ada suatu masalah langsung bersatu untuk mengatasi dan menyelesaikannya. Adanya kubu itu kan memang sudah biasa ya, tapi tetap ada rasa solidaritas pada tubuh di dalamnya. Saya berterima kasih sekali bisa mendapatkan kesempatan untuk berada di sini, walaupun mungkin menurut orang lain saya bisa mendapatkan hal yang lebih besar jika berada di luar sana. Tapi, bagi saya itu besar sekali dan memberikan kepuasan tersendiri,” ucapnya dengan penuh haru. 

Pada akhirnya menjadi bagian dari keluarga besar IDI menjadi salah satu hal yang Bu Dien syukuri dalam hidupnya. Dengan semua masalah yang terjadi, Bu Dien yakin PB IDI bisa melaluinya dengan baik. 

Jika bicara soal dedikasi, sosok Bu Dien mungkin tidak ada yang bisa menandinginya. Dia bekerja ikhlas dan menggunakan hati. Semoga dalam menjalani hidup ini, kita bisa menjadi manusia yang dapat memberikan kebaikan dan manfaat untuk banyak orang di sekeliling kita, sebagaimana yang Bu Dien lakukan. Selamat Hari Kartini! 

Bagikan Artikel Ini
Hotline