IDI REBORN, DARI SLOGAN KE DNA - Iqbal Mochtar
IDI REBORN, DARI SLOGAN KE DNA
Iqbal Mochtar
Hari ini, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berulang tahun ke-73. Sejarah perjalanan IDI cukup panjang. Organisasi ini lahir 5 tahun pasca kemerdekaan dan menjadi saksi bagaimana negeri ini berjuang dan membangun. Sejak lahir hingga kini, organisasi ini menjadi rumah besar dokter Indonesia dan berperan sebagai pengawal penegakan standar profesi, moral dan etik dokter. Tujuh dekade IDI ikut terlibat dalam pembangunan bangsa tanpa pamrih dan tanpa pendanaan khusus dari pemerintah. Saat ini, 200 ribu dokter Indonesia, 89 Perhimpunan dan 37 Kolegium berhimpun didalamnya.
Undang-undang Kesehatan 17/2023 yang baru-baru disahkan memberi dampak besar terhadap peran strategis dan wewenang organisasi ini. Bila dulu IDI adalah satu-satunya organisasi profesi dokter yang diakui negara, maka saat ini organisasi profesi dokter bisa banyak. Peran strategis organisasi dalam memberi rekomendasi bagi dokter yang akan praktik dokter telah dihapus. Wewenang IDI dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan berkelanjutanpun dihilangkan. Secara langsung maupun tidak langsung, UU Kesehatan telah memangkas peran dan wewenang organisasi ini. Dengan pengerdilan ini, wajar sebagian dokter bertanya : bagaimana IDI bisa eksis dimasa mendatang?
IDI Reborn
Muktamar IDI beberapa tahun lalu memunculkan slogan ‘IDI reborn’ (IDI terlahir kembali). Saat itu, banyak anggota yang bertanya; apa maksud IDI ‘terlahir kembali?’. Apanya yang mau dilahirkan kembali? Bukankah saat itu IDI sementara berada dalam comfort zone dan tidak mengalami konflik krusial? Tidak ada yang mengira saat itu bahwa dalam satu-dua tahun pasca munculnya slogan itu, IDI memasuki area turbulensi akibat lahirnya UU Kesehatan yang memangkas beragam peran dan wewenang yang selama ini dipegangnya.
Berlakunya UU Kesehatan tentu sangat mempengaruhi posisi dan peran IDI. Meski demikian, kondisi ini tidak selayaknya menghentikan peran penting organisasi dalam menjaga kesejawatan kolega dan mengawal pembangunan kesehatan dinegeri ini. Bahkan, terpaan tantangan yang ada mestinya menjadi cambuk bagi organisasi ini untuk lebih maju, elegan dan berkualitas. Di negara-negara lain, organisasi profesi dokter seperti American Medical Association dan British Medical Association merupakan organisasi yang powerful. Lobi-lobi mereka masif dan sangat menentukan iklim kesehatan dinegeri mereka. Mereka berkolaborasi dengan industri dan universitas raksasa dan memiliki balanced position dalam sistem kesehatan. Posisi kuat ini diperoleh setelah mereka menjalani perjalanan panjang dengan penuh tantangan selama ratusan tahun. American Medical Association telah berusia 197 tahun; British Medical Association 200 tahun dan India Medical Association 234 tahun. Mereka telah ditempa dan diterpa oleh beragama issu. Dengan itu, mereka tumbuh menjadi makin kuat dan tegar.
Salah satu upaya menjaga eksistensi organisasi adalah perlunya IDI melakukan reformasi menjadi IDI yang terlahir kembali. Konsep IDI reborn bisa dijadikan titik pijak. Bila dulu slogan ‘IDI reborn’ lebih merupakan pemicu semangat dalam kegiatan, maka saat ini slogan ini mesti diartikulasikan dan dimanifestasikan lebih serius. Ia mesti dimaknai bukan hanya sebagai slogan tetapi sebuah DNA, yaitu elemen krusial makhluk hidup. DNA menjadi substansi dasar yang menentukan proses tumbuh kembang makhluk hidup. Artinya, IDI memang harus reborn secara substansial.
Dalam konteks organisasi, reborn artinya perubahan besar untuk memperbaiki kinerja, struktur, budaya dan arah. Tujuannya untuk memperbaiki dan memperbaharui organisasi agar dapat beradaptasi dan relevan dengan perubahan lingkungan sambil tetap mencapai kinerja yang baik. Transformasi ini penting sebagai respons terhadap tekanan eksternal atau internal dan memerlukan komitmen kuat dari segenap unsur organisasi.
Untuk transformasi ini, paling tidak tiga pilar mestinya mengalami metamorfosis.
Pertama, visi dan misi. Visi IDI saat ini adalah ‘menjadikan IDI sebagai organisasi profesi yang mandiri, independen, solid dan berwibawa di tingkat nasional maupun regional dalam mewujudkan dokter sejahtera, profesional, dan masyarakat sehat’. Visi in terlalu dokter-sentris; lebih terfokus pada hegemoni dokter. Munculnya beragam dinamika internal dan eksternal mengharuskan IDI melakukan revisi visi dan misi. Visi yang diperlukan adalah yang mengandung tujuan dan nilai-nilai novel yang ingin diangkat IDI dalam masa mendatang. Visi ini tidak boleh lagi terkungkung oleh egoisme sektoral dengan hanya concerned terhadap dokter saja. IDI kedepan mesti secara tegas juga menunjukkan keberpihakan dan perhatian kepada masyarakat. Ini mesti secara jelas divisualisasikan pada visi. Visi organisasi kedepan selayaknya dual-orientation. Disatu sisi, IDI mesti terus mengawal tugas internal berupa penjagaan profesionalisme dan etika dokter. Disisi lain, IDI harus berani menyatakan keberpihakan kepada masyarakat dengan mendukung penuh semua kegiatan atau kebijakan yang terkait pemerataan pelayanan kedokteran dan kesehatan negeri ini. Kedua pilar ini sangat krusial dan mesti termaktub dalam visi-misi IDI. Dengan memegang kedua pilar ini, IDI mesti siap menjamin bahwa setiap anggotanya akan menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme dan etika saat melakukan kegiatannya. Pada saat sama, IDI menjamin bekerpihakan mutlak kepada masyarakat dengan mendukung kebijakan berbasis pemerataan pelayanan kesehatan. Dengan visi demikian, IDI akan terlibat bukan hanya pada acara berbau dokter tetapi juga pada kegiatan advokasi dan dukungan kegiatan kesehatan masyarakat, termasuk pengentasan tengkes, penanggulangan obesitas serta penurunan angka kematian ibu dan anak yang masih tinggi. Dengan komitmen seperti ini, IDI bukan hanya menjadi garda dokter tetapi juga berdiri didepan dan memimpin perjuangan kesetaraan dan akses kesehatan bagi seluruh masyarakat di Indonesia. IDI mesti berupaya dan berperan aktif untuk menghilangkan ketidaksetaraan dalam pelayanan kesehatan dan memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang latar belakang atau lokasinya, memiliki akses terhadap perawatan kesehatan dan kedokteran berkualitas.Elemen visi begini akan memperluas skop dan keterlibatan. IDI tidak lagi hanya menjadi organisasi profesi eksklusif.
Kedua, perubahan struktural. Menghadapi perubahan dinamika yang cepat, IDI mesti bisa berani merubah struktur organisasinya. Selama ini, struktur kepengurusan IDI masih mengambil model konvensional dengan mengadopsi struktur hirarki konvensional seperti kebanyakan organisasi lain. Modelnya mengarah kepada ‘organisasi berstruktur hirarki’ dengan satu ketua dibantu oleh wakil ketua dan sejumlah departemen. Meski jamak dipakai, model seperti ini memiliki beberapa kekurangan, terutama saat menghadapi kondisi yang agile. Diantaranya adalah : kurangnya partisipasi akibat sentralisasi pengambilan keputusan, lambatnya komunikasi, kesulitan beradaptasi, berjenjangnya tahapan pengambilan keputusan dan risiko konflik kepentingan. Padahal disini lain, tantangan IDI kedepan sangat kompleks dan tidak lagi terbatas pada issu-issu sederhana. Tantangan meluas termasuk kemungkinan merebaknya pandemi baru dan issu kesehatan global, keterpenuhan akses dan kesetaraan kesehatan, pemenuhan sumber daya kedokteran, perkembangan teknologi medis, perubahan demograsi terutama bonus demograsi. Tantangan kompleks ini mengharuskan perubahan struktur organisasi. Salah satu alternatifnya adalah kepemimpinan presidium. Kedepannya, IDI perlu mempertimbangkan kepemimpinan presidium. Model ini cocok untuk organisasi yang menganut nilai-nilai demokrasi, partisipasi, dan transparansi namun pada sisi lain menghadapi tantangan perubahan yang dinamis dan kompleks. Dengan model ini, keputusan dan kebijakan strategis dibuat setelah anggota presidium duduk bersama, berbagi ide dan mencapai kesepakatan bersama. Dengan model ini, organisasi memiliki beragam sudut pandang yang dapat memperkaya diskusi dan pengambilan keputusan serta mengurangi risiko sentralistik dan penyalahgunaan kekuasaan. Model ini juga dapat mendorong keterlibatan aktif dari anggota organisasi karena mereka memiliki akses langsung ke para presidium.
Ketiga, perubahan budaya organisasi. Saat ini merupakan momen tepat untuk melakukan metamorfosis budaya organisasi demi terciptanya IDI yang lebih baik. Selama ini IDI dituding sebagai organisasi yang hidupnya hanya memanfaatkan anggotanya. IDI hanya hidup dari iuran anggota, pembayaran surat rekomendasi atau biaya akreditasi pendidikan berkelanjutan. Meski ini merupakan hal yang wajar-wajar bagi sebuah organisasi yang tidak mendapat dukungan finansial dari pemerintah, budaya ini perlu direvisi. Kedepan, IDI tidak boleh menggantungkan hidupnya dari sumber pendapatan konvensional ini. IDI mesti bisa dan berani membuka peluang kerjasama dengan industri, universitas atau institusi nirlaba lainnya. Dengan kerjasama ini ini, IDI bisa mendapat allowance atau mutual-benefit untuk operasional dan logistiknya. Saat bersamaan, IDI perlu mengembangkan upaya ekonomi mandiri dengan mendirikan koperasi yang elegan atau mendirikan proyek-proyek lain yang berpotensi memberikan sumbangan finansial bagi keberlangsungan organisasi, termasuk pendirian rumah sakit dan fakultas kedokteran atau melakukan kerjasama dengan organisasi lain. IDI pun harus memperkuat peran advokasinya, bukan hanya terhadap profesi dokter tetapi terhadap masyarakat secara keseluruhan. Dengan peran ganda ini, IDI memberi sinyal bahwa mereka bukan hanya peduli dengan profesi mereka tetapi juga terhadap masyarakat secara keseluruhan. IDI harus menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat dan bukan hanya bersirkulasi dalam kalangan elit profesi.
IDI Reborn sebagai DNA
Dalam menghadapi situasi krusial seperti saat ini, IDI perlu segera menjadikan konsep ‘IDI reborn’ sebagai DNA-nya. Dengan ini, IDI melakukan reformasi dan merubah eksistensinya dengan mengintegrasikan nilai-nilai modern, transparansi dan akuntabilitas didalamnya. Ini akan menjadikan IDI sebagai sebuah organisasi profesi dokter yang kuat, yang tidak hanya menjaga profesionalitas dan etika, tetapi juga selalu mementingkan kepentingan masyarakat. Dengan semangat reborn, IDI harus terus menjadi pilar terdepan dalam menjaga pemerataan dan kualitas layanan kesehatan dan kedokteran masyarakat sambil memastikan bahwa dokter-dokter Indonesia tetap memiliki standar tertinggi dalam praktik kedokteran mereka. Konsep reborn mesti diimplementasikan dalam setiap tarikan napas organisasi. Dengan ini, IDI akan mampu menavigasi perubahan yang tak terhindarkan dalam dunia kesehatan dan meningkatkan dampak positifnya pada masyarakat. Inilah saatnya untuk serius berkomitmen dan berkhidmat pada konsep IDI reborn sebagai DNA bagi organisasi yang dicintai ini.
- Pengurus PB. IDI dan Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia di Timur-Tengah (PDITT).