Kemelut Depresi Calon Dokter Spesialis, Benarkah Begitu?
Ditulis oleh DR. Dr. Darmono SS, MPH, SpGK
Bisa dibilang pelayanan kesehatan di Indonesia belum baik baik saja, alias belum berkualitas. Apalagi ditambah dengan makin ruwetnya kesehatan jiwa calon dokter spesialis yang tengah mengikuti pendidikannya. Menurut salah satu berita di Koran Kompas pada 16 April 2024 lalu dengan headline yang bombastis, tidak realistis, dan menjadi sensasi politis temuan baru pasca hebohnya isu Omnibus Law.
Pada akhirnya, Koran Kompas pun terlihat sisi gelapnya, karena beritanya menghebohkan dunia akademik. Laporan penelitian culas dan mengaburkan tujuan penelitian yang katanya ingin memperbaiki kompetensi pendidikan atau pendidikan dokter spesialis. Fakta ini kemudian menjadi alarm bagi dunia pendidikan kedokteran.
Kementerian Kesehatan lalu merilis hasil skrining yang dilakukan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di beberapa rumah sakit di Indonesia. Kasus bully pada calon dokter belum terselesaikan dengan baik sekarang. Eh, malah ditambah dengan gejala depresi para calon dokter spesialis sebagai temuan baru. Laporan perundungan menyebabkan para calon dokter mengalami bentrok psikologis, karena membuat mereka jadi saling curiga, saling tidak percaya menyangkut hubungan antara senior dan junior, termasuk para pendidiknya.
Hubungan antara senior dan junior dalam pendidikan magang sebenarnya merupakan hubungan kekeluargaan, yang ibaratnya sebagai saudara kandung. Di sisi lain, proses pematangan diri sebagai dokter sebenarnya merupakan hubungan dialektis aktif yang menjadi wujud aktualisasi diri dan proses beradaptasi dalam melayani orang sakit.
Ketika mengikuti pendidikan dokter setelah melalui saringan yang ketat, mereka diwajibkan mempunyai kemampuan akademis, mampu menjaga moral dan etika, serta mempunyai keterampilan tinggi, yang merupakan sinergi ajaran lisan–tulisan yang jadi normalisasi budaya kerja sebagai dokter. Pendidikan magang di kedokteran juga wajib didasari dengan motivasi tinggi, dipelajari, dipahami, diresapi, dan dilakukan dengan hati-hati. Seorang calon dokter spesialis harus mampu membagi waktu untuk pendidikan, keluarga, dan bahkan lingkungan kerja yang penat, ketat, dan padat.
Dengan merilis hasil skrining ini, Kementerian Kesehatan bisa dibilang merundung profesi dokter secara bertubi-tubi. Begitukah caranya Kementerian Kesehatan dalam mencari fakta untuk memperbaiki kompetensi dokter dan dokter spesialis? Kementerian Kesehatan membuat sensasi yang tidak etis dan tidak elit. Di antara mereka yang dicurigai sampai melakukan sumpah adat-agama, mereka menjadi paranoid, saling mencurigai dan membuat hubungan mereka tidak harmonis. Bully membully sulit dibahas dengan tegas, lugas, dan tuntas.
Skrining kejiwaan menggunakan kuesioner Patient Health Questionnaire 9 (PHQ 9) ini apakah hasilnya valid dan reliabel? Skrining bukan alat diagnostik, karena skrining belum memiliki nilai validitas yang akurat, spesifik, dan konsisten. Hasil skrining ini menimbulkan berbagai pertanyaan, sehingga menimbulkan cerita karena datanya tidak lengkap sebagai laporan penelitian. Skrining bukan suatu metode penelitian. Skrining hanya sebuah penapisan, dimana tidak dilengkapi dengan sistem sampling, metode, materi, relevansi, diskusi dari para akademisi. Jadi, apakah iya calon dokter spesialis itu stres dan depresi? Apakah PHQ 9 relevan untuk calon dokter spesialis? Apakah PHQ 9 masih valid dan untuk saat ini?
Apakah benar para calon dokter spesialis yang mengikuti pendidikan mengalami kelelahan fisik maupun psikis, dan terlintas menyerah pasrah ingin mengakhiri hidup? Apakah kurang tidur dan kelelahan menjadi ukurannya? Apakah napsu makan menjadi parameter kejiwaan? Skrining bukan alat untuk mendiagnosis. Ilmu kedokteran itu berbasis evidence, klinis, etis, dan legeartis.
Dikatakan sebagai temuan baru dari skrining bahwa angka depresi paling tinggi terkait calon dokter spesialis yang stres dan depresi berada di RS Cipto Mangunkusumo dengan persentase sebesar 22,4 persen, RS Hasan Sadikin sebesar 12,9 persen, dan RS Sardjito sebesar 12 persen. Sedangkan 3,3 persennya mengaku ingin mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Berita ini kemudian membuat kecemasan baru di masyarakat. Bagaimana kelak dokter spesialis ini akan memberi pelayanan kesehatan, mendiagnosis, melakukan tindakan dan mengobati pasien kalau stress dan depresi, jiwa yang rapuh? Sungguh mencengangkan!
Stress merupakan akumulasi ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah bagi jiwa yang rapuh. Ketika manusia tidak mampu meregulasi rasa frustasi yang dialami, maka dapat memicu depresi. Batas pemisahnya sendiri tipis. Frustasi terhadap situasi yang tidak menyenangkan dengan situasi yang diinginkan.
Faktor yang melandasi stres dan depresi calon dokter spesialis yakni daya mental yang rendah, jiwa yang rapuh, dan tidak tahan uji. Mungkin calon dokter dari kalangan yang berada, memiliki sumber daya serba ada, hidupnya terasa sempurna, tidak pernah merasakan pahit getirnya kehidupan, yang mana akhirnya menjadi pemicu menurunnya performa akademik maupun kompetensi secara utuh. Pendidikan, untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan, kompetensi tinggi, termasuk pengabdian perlu kesungguhan jiwa raga, tanggung jawab, dan kedisiplinan yang tinggi. Menjadi dokter sejatinya adalah menjalankan tugas pengabdian kemanusiaan yang mulia. Perlu kejernihan dan niat yang suci untuk melayani orang sakit.
Etika Penelitian
Kementerian Kesehatan melanggar moral etika penelitian dan penulisan. Penelitian sesungguhnya memerlukan kesadaran, moral, etika, dan tata krama sesuai dengan kaidah ilmiah universal sebagai fakta baru dalam ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah cahaya yang akan menuntun manusia dari kegelapan, sehingga mampu membedakan mana yang benar dan salah, dan mana yang telah menjadi teori dan diuji dalam penelitian empirik dan statistic untuk ilmu pengetahuan.
Skrining bukan sebagai fakta hasil penelitian. Penelitian harus memenuhi kaidah ilmiah berdasarkan permasalahan, tujuan, rancangan yang tepat, populasi, sampel yang sesuai, tingkat kepercayaan, uji statistik, untuk memperoleh manfaat yang baik. Penelitian mengandung nilai historis, instrumentasi, testing, maturasi, analisis bias, interaksi, dan interferensi. Hasil penelitian juga dipublikasikan melalui jurnal ilmiah yang kredibel, direview oleh kelompok ahli terlebih dulu. Publikasi ilmiah bertujuan untuk memberikan informasi sekaligus mencerdaskan masyarakat. Terkait isu ini, Kemenkes harus membuat penelitian lanjutan untuk menjelaskan perihal temuannya itu.
Stress dan depresi calon dokter spesialis belum dianggap sebagai fakta baru di kalangan dokter yang justru mempelajari jiwa manusia seutuhnya. Setiap fakta harus dipecahkan, sebab kalau tidak akan membuat sensasi yang sulit untuk didiskusikan. Setiap hasil penelitian dapat diteliti lagi untuk mencari jawaban atas permasalahan yang diperoleh secara benar, valid melalui penelitian baru dengan mengundang pertanyaan dan masalah yang disebut research. Hasil research baru akan memperoleh temuan, ilmu (science) baru. Jadi science dan research memang dua hal yang tidak dapat dipisahkan, ibarat uang bermata dua. Hasil skrining belum dapat menjadi fakta baru, sebab temuan atau fakta baru tentu ada filosofinya, yakni dengan melakukan penelitian mendalam sebagai action untuk membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran.
Setiap fakta dapat diuji kembali untuk menemukan fakta baru secara empiris. Temuan yang teruji, valid sebagai temuan empiris harus dapat dijelaskan (biologic plausibility) konsistensinya dan terukur dalam dose response sebagai fakta baru. Jika tidak, hal itu hanya akan menjadi sensasi yang belum teruji secara substantif. Laporan penelitian juga harus valid, komprehensif, melalui kerja logis, etis, dan legeartis.
Berita di Koran Kompas bisa dibilang sembrono dan teledor. Koran kompas bukan jurnal ilmiah. Koran kompas adalah media massa dan beritanya malah dapat membingungkan masyarakat. Koran Kompas menyalahi tata krama dan moral etika laporan penelitian. Kompas dan Kementerian Kesehatan membutakan nilai ilmiah penelitian, etika penulisan hasil penelitian ilmiah. Nominator dan denominatornya dibutakan, sehingga menjadi kabur. Hasil skrining mestinya direview terlebih dahulu oleh para ahlinya, ditelaah, dianalisis, dan dilaporkan di jurnal ilmiah resmi, bukan melalui koran. Laporan penelitian harus tervalidasi dan diverifikasi. Koran tidak bisa dipakai untuk publikasi hasil penelitian sah ilmiah.
Peneliti harus berhati-hati, serta menjunjung tinggi integritas dan etika sebagai ilmuwan. Etika publikasi peneliti harus dipenuhi. Hasil skrining tidak boleh membuat kecemasan di kalangan masyarakat. Metode dan kualitas naskah harus diulas secara jelas. Laporan penelitian ilmiah tidak boleh pragmatis demi keuntungan lembaga atau institusi tertentu. Laporan penelitian harus divalidasi dengan adanya bias internal maupun eksternal. Laporan penelitian tidak boleh memiliki motif yang sifatnya pembenaran. Kalimat laporannya harus bersifat pasif, tidak boleh kalimat aktif. Hasil penelitian harusnya dapat meningkatkan kompetensi calon dokter spesialis dan tidak boleh serampangan dan sembarangan.
Publikasi ilmiah mengandung nilai nilai positif, informatif, dan valid, termasuk dipublikasikan di tempat yang baik dan membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Apa maksudnya Koran Kompas merilis hasil temuan skrining yang tidak realistis? Harapannya, kita dapat menyelesaikan masalah kesehatan secara bergotong royong. Gotong royong adalah konsep yang mengangkat identitas bangsa. Gotong royong menjadi kekayaan budaya bangsa Indonesia. Kebersamaan seluruh masyarakat menjadi modal utama untuk menghadapi masalah kesehatan dan resesi ekonomi. Terbukti dengan semangat solidaritas, gotong royong, bergerak bersama kita mampu menghadapi pandemi bahkan resesi ekonomi.
Moral dan etika akhlak mulia manusia harus dijunjung tinggi. Manusia boleh salah, tetapi tidak boleh berbohong. Moral, etika, akhlak manusia yang beragama, bermakna dan berbudaya harus dijaga. Kita harus mampu menjaga hubungan vertikal manusia dengan Sang Pencipta, Illahi Rabbi, akhlak mulia, habluminallah. Belajar dan bekerja disertai doa merupakan sikap yang mencipta, memelihara asa, hubungan dengan sang Pencipta dilandasi untuk mengabdi. Misalnya, belajar ilmu kedokteran, spesialis, sampai dengan S2, S3, memadukan ilmu, akhlak mulia dan etika sesuai dengan pesan moral ilmu, budaya dan agama. Manusia yang jiwanya rapuh apakah bisa mengabdi sebagai dokter ahli? Dokter adalah insan yang wajib mengabdi untuk kemanusiaan, sehingga dokter yang tidak tahan uji akan menyulitkan diri sendiri dan orang lain.
Jadilah orang bijak. Orang bijak itu selalu berupaya, mampu menjaga luhurnya moral dan etika dalam tutur kata, perbuatan untuk mengarungi kehidupan dengan seisi alam termasuk dalam penelitian. Moral dan etika menjadi panglima kehidupan, termasuk dalam penelitian pelayanan kesehatan. Moral dan etika merupakan napas kesadaran, kehidupan manusia. Moral dan etika sebagai nilai yang menuntun, tekun, perilaku santun semua tindakan manusia. Moral dan etika dapat dilihat dari proses rasional, universal, spiritual dan emosional, tidak merilis berita yang sensasional. Dalam moral dan etika sejatinya meninggalkan sifat super ego, lebih lebih Kementerian Kesehatan dan Koran Kompas. Manusia hendaknya tidak menjadi budak dari super egonya sendiri.
Moral dan etika menata hati nurani agar seluruh perkataan, tindakan manusia didasarkan pada pertimbangan kemanusiaan, tatakrama, tata kelola kebajikan dan kalkulasi rasional. Moral dan etika sebagai code of conduct berperilaku kehidupan termasuk dalam penelitian. Moral dan etika mengandung pemikiran kritis, dinamis, normatif, rasional sadar, sistematis etis dalam ruang dan waktu. Etika lebih dekat dengan “unggah ungguh” (bahasa Jawa) tata krama, sopan santun, tekun, dan kepantasan. Etika menjadi napas kehidupan manusia di Indonesia yang beragama, adab mulia dan berbudaya. Sikap egois mementingkan diri sendiri bisa mencelakakan orang lain, bagai nila setitik rusak susu sebelanga. Jika langkahmu benar, di mana pun kamu berada, tetaplah menjaga etika, sebab akhlak mulia akan menjadi berkat bagi semua orang.
Kinerja Lembaga Pelayanan Kesehatan Perlu Disorot Habis-habisan
Ada pepatah yang mengatakan, jika kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Besrai, Windiatini, vol 9 no 3 tahun 2015 menyebutkan bahwa 79,1 persen pegawai Kementerian Kesehatan mengalami stress. Berapa persen pegawai Kemenkes yang obesitas dan tetap bergaya merokok? Kemenkes hanya melempar issue bully membully dan depresi calon dokter spesialis dan tidak menyelesaikan masalah yang menjadi pokok tanggung jawab tugas pokoknya, akan tetapi malah mencari sensasi.
Kementerian Kesehatan bertransformasi, namun belum terimplementasi dengan baik dan masih perlu bukti. Manusia tidak pernah belajar dari kesalahan. Lihat saja epidemiologi yang kita miliki, hasil survei survei masa lalu tidak pernah dipakai untuk memecahkan masalah kesehatan. Semua rumah sakit penuh dengan kerumitan pelayanan yang diurus oleh Badan Pelaksana Jaminan Sosial bidang Kesehatan (BPJS). BPJS selalu membuat strategi administrasi, deviasi hari libur sesuai kemauannya sendiri. Administrasinya sulit dan berbelit. Masalah lansia yang sakit, terseok-seok menderita dengan kursi roda, harus datang sendiri untuk minta obat dan harus dengan sidik jari sebagai bukti diri. Obat dikurangi dengan dalih selisih hari. Ingat waktu kena pandemi, obat dikurangi. Obat sering tidak lengkap dan bahkan harus datang berkali-kali. Padahal rumahnya jauh jauh dari dokter keluarga dan RS tipe C.
BPJS tidak memahami pengeluaran biaya non kesehatan, seperti transportasi, akomodasi, antri ber jam-jam, biaya parkir yang mahal, dan potensi kehilangan pendapatan harian. Poliklinik berjubel menyebabkan penularan penyakit. Vaksinasi penyakit masih ada yang bayar sendiri (hepatitis, HPV, serta influenza bagi lansia). Bandingkanlah dengan negara Asean m, seperti Thailand, yang usianya BPJS-nya hampir sama. Pelayanan BPJS berbasis akuntansi, kwitansi bukan mitigasi. Pelayanan obat tidak boleh putus, karena akan menimbulkan efek yoyo, eksaserbasi, kronik, san bersifat negatif paliatif.
Dokter spesialis dikebiri, hanya berbasis pada kelainan organ tertentu. Kalau pada lansia yang diagnosisnya lebih dari 2 tidak boleh diberi obat penyakit penyertanya (comorbidity). Selain itu, pelayanan spesialis pun dibatasi. Padahal menurut Geriatric giant, kelainan lansia rata-rata telah ada sebanyak 14 penyakit. Pelayanan kesehatan belum bersifat makro, meso, dan mikro, dan berbasis pada kehidupan jangka panjang. Regulasi bukan berbasis pada prestasi tetapi pelayanan berbasis kuitansi. Ilmu kedokteran itu mempunyai sekuensi lengkap, preemptif, preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif.
BPJS itu sebagai lembaga administrator, regulator atau operator? Administrator mempunyai peran sentral dalam menjalankan ‘misi utamanya’. Regulator sebagai pemikir utama, thinker. Thinker menentukan formulasi, strategi, kebijakan, pengembangan kehidupan jangka panjang. Pelayanan kesehatan itu berjangka panjang lengkap dalam life cycle, sepanjang kehidupan. Ingat ilmu kedokteran lengkap meliputi 5D (death, diseases, disability, discomfort, destitution). Proses panjang pelayanan kesehatan belum terintegrasi dalam satu data. Selain memberi pelayanan kesehatan juga perlu memikirkan kemajuan bangsa yang murah dengan memberdayakan masyarakat. BPJS sebagai Operator atau executor, menjalankan hasil kebijakan, menguasai infrastruktur dan pengelolaan SDM pelayanan kesehatan yang komprehensif dan menyeluruh.
Birokrasi BPJS bergengsi tinggi, tupoksi dokter dikebiri, mengubah regulasi berkali-kali, tidak peduli, sampai profesi kesehatan, khususnya dokter tidak mempunyai arti. Dokter sebagai agent of change dikebiri, sampai tidak mempunyai arti. Body of knowledge dokter tidak terfasilitasi. Implementasinya belum mengundang partisipasi, menentukan arah kebijakan termasuk pemberdayaan masyarakat. Deviasi hari (libur) pelayanan diakali agar mundur sampai berhari-hari, yang mana terkesan rinci, teliti dalam melayani yang itu bukan falsafah jaminan berasuransi. Perlu adanya strategi baru pasca pandemi Covid-19. Orang yang sudah sakit belum diberikan fasilitas lengkap, dikurangi hak nya akibat alasan ekonomi. Pelayanan dengan melakukan deviasi hari (hari libur dan hari besar tidak diberi obat) dapat dikatakan sebagai pemutus layanan yang berkesinambungan. Pelayanan obat terputus karena deviasi hari. Perlu ikhtiar untuk menempatkan keselamatan orang sakit sebagai hukum tertinggi.
Pelayanan kesehatan merujuk pada Universal Health Coverage (UHC) yang diperingati setiap tanggal 12 Desember di seluruh dunia, mempunyai makna sebagai upaya pelayanan kesehatan guna memenuhi hak asasi setiap orang untuk hidup sehat, aktif, produktif dan sembuh dari penyakit. Melalui UHC sejalan dengan tujuan SDGs, NO ONE LEFT BEHIND. UHC, juga tertera pada UUD 1945, pasal 28,H, ayat 1. Apa makna pada UHC yang berbeda dengan pelayanan BPJS?. Ada unsur MORAL HAZARD / FRAUD?. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagaimana dalam UU no 40 / 2004, tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), pelayanan sesuai dengan status obyektif yang ditentukan oleh kebutuhan medis legeartis.
BPJS mempunyai kuasa otoritas bentuk baru yang memanfaatkan regulasi akuntansi untung rugi. Instrumentasinya justru pasif, represif, regresif, dan negatif. Birokrasi, pelembagaan dengan pendekatan institusionalisme sempit. Birokrasi, lembaga pelayanan dengan bertransformasi yang memadai bukan kepatuhan pada aturan, sehingga pelayanan wajib meningkat dengan penajaman kualitas positif, etis, substantif. Bangsa kita dikenal dengan bangsa yang pandai bermusyawarah. Mari bermusyawarah untuk menyelesaikan semua kendala. Setiap kendala pasti ada kendali.
Regulasi BPJS terdistorsi, disrupsi, mal-administrasi dimanipulasi, erosi substansi, relevansi dan tidak inklusif, deliberatif, berargumentasi. Pelayanan kesehatan mestinya melekat erat (embeded) pre-emptif, preventif, promotif, protektif, kuratif, rehabilitatif sampai paliatif Padahal kebijakan BPJS itu hanya akal akalan, tidak ada dalil dalam manajemen pelayanan kesehatan yang berbasis pada pencegahan, kebersamaan dan pemberdayaan masyarakat. Kunci segala kunci dalam pelayanan jaminan kesehatan adalah mitigasi, manajemen risiko penyebab penyakit melalui kerja bersistem preventif, promotif, protektif, solutif, antisipatif bukan sebaliknya hanya kuratif, rehabilitatif dan paliatif.
Penyelesaian risiko tidak diantisipasi seperti pada epidemiologi. Lihat substansi dalam epidemiologi, hierarchy of diseases. Dimulai dari kuratif tetapi upaya yang lebih penting jangan melupakan pre-emptif, preventif, promotif dan partisipatif. Bedah bariatric eksponensial mahal, personal yang abnormal diinisiasi untuk pelayanan artifisial yang tidak esensial. Obesitas itu sebagian besar akibat kelebihan energi, hidup hedonis, malas berolahraga. Pelayanan BPJS harus dimulai dari hulunya, bukan hilir. BPJS salah orientasi, melulu administrasi, akuntansi, birokrasi, kuitansi, berbasis klinik, erosi pelayanan inti yang hakiki. Dokter yang berhasil adalah dokter yang tidak mempunyai pasien, alias masyarakatnya sehat, walafiat, kuat, bersemangat tidak sakit melalui berbagai strategi bersistem. Remunerasi dokter di puskesmas yang dibantu oleh banyak tenaga kesehatan tentunya mempunyai makna, kerja bersistem dalam mencegah orang menderita sakit, bukan sebaliknya. Pencegahan sakit belum dilaksanakan.
Kinerja lembaga pelayanan kesehatan dan BPJS belum bertransformasi pasca pandemi. Pasca pandemic Covid-19, Kementerian Kesehatan belum menunjukan performanya dalam data. Pelayanan kesehatan bukan hanya kuratif, rehabilitatif dan paliatif saja. Buat regulasi pelan tapi pasti menuju preventif, promotif dengan pemberdayaan masyarakat. Kebijakan terintegrasi mempunyai nilai filosofis tinggi, regulasi menyelesaikan pokok permasalahan kesehatan. Lihat hasil studi epidemiologi. Pelayan kesehatan belum didukung data untuk menuju Indonesia Emas 2045.
Sebelum SDGs berakhir akan dilakukan evaluasi. Evaluasi SDGs akan dilaksanakan di tahun 2025, rapor negara yang ikut meratifikasi SDGs akan dievaluasi. Kita masih menunggu penelitian: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang diselenggarakan setiap 3 tahun sekali. Riskesdas terakhir tahun 2018, sebelum pandemi Covid-19. Survei Kesehatan Rumah Tangga masih kita tunggu. Survei Demografi Kesehatan Indonesia belum ada. Bagaimana kita tahu performa lembaga pelayanan kesehatan di Indonesia dengan tersedianya data epidemiologi baru? Kita mempunyai data prevalensi, insidensi epidemiologi yang masih memprihatinkan.
Kementerian kesehatan tentunya harus fokus pada kesehatan masyarakat. Penyakit degeneratif, paliatif, stroke, jantung koroner, kanker, diabetes mellitus, penyakit yang menghabiskan uang tetap tinggi. Penyakit degeneratif, paliatif tetap dapat dicegah. Penyakit tropis masih merajalela. TBC belum tereliminasi melalui pelayanan berkelanjutan. Lepra masih tinggi, demam berdarah, dengue masih tinggi. Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) masyarakat masih terbatas. KIE justru mampu memberdayakan masyarakat belum dimasifkan. Lembaga penyiaran negara mestinya mampu menyehatkan masyarakat.