Banner

MEMACU PASOKAN DOKTER SPESIALIS - Iqbal Mochtar

MEMACU PASOKAN DOKTER SPESIALIS

Iqbal Mochtar

 

            Pemerintah tampaknya serius ingin memacu produksi dokter spesialis di Indonesia. Wacana ini terus dinarasikan oleh Menteri Kesehatan dalam berbagai kesempatan. Untuk tujuan ini, Undang-undang Kesehatan 17/2023 mewacanakan model pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit (hospital base). Lewat model ini, rumah sakit akan diberi wewenang untuk menyelenggarakan pendidikan dokter spesialis dan sekaligus menerbitkan ijazah spesialis. Selama ini, program pendidikan dokter spesialis di Indonesia diselenggarakan oleh universitas (university base). Pemerintah menganggap model lama ini tidak adekuat dalam memproduksi jumlah dokter spesialis yang diinginkan. Jumlah dokter spesialis dianggap sangat kurang. Akibatnya, banyak kasus medis yang terlambat ditangani. Model hospital base dianggap dapat menjadi solusi kekurangan dokter spesialis. 

 

Kurang Dokter

            Kekurangan dokter spesialis merupakan fenomena universal. Issu ini terjadi pada hampir semua negara, termasuk negara-negara maju.  Di Inggris, kekurangan dokter spesialis merupakan persoalan kronis. Saat ini, 11 ribu lowongan dokter spesialis ditawarkan namun tidak terisi. Meski telah ada 40 ribu dokter dari Eropa yang bekerja di Inggris, tetap saja negara ini kekurangan dokter spesialis. Untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis, waktu tunggunya berkisar 4-5 bulan. Hal sama terjadi di Amerika Serikat. Rasio dokter spesialis terhadap penduduk amat jomplang. Rasio-rasio dokter jantung intervensi terhadap penduduk adalah 1:85.000, dokter paru 1:62.000 dan radiasi onkologi 1:65.000. Akibat kelangkaan ini, untuk bertemu dokter ahli jantung, waktu tunggunya 27 hari. Untuk dokter kebidanan dan dokter kulit waktu tunggunya malah lebih sebulan. Asosiasi Kolegium Medis Amerika (AAMC) baru-baru ini mengeluarkan statemen bahwa Amerika kekurangan 25-33 ribu dokter spesialis bedah. 

            Kekurangan dokter spesialis juga terjadi di Indonesia. Data KKI menunjukkan bahwa pada bulan November 2023, di Indonesia terdapat 222 ribu dokter; terdiri atas 150 ribu dokter umum dan 52 ribu dokter spesialis. Bila dibandingkan jumlah penduduk yang berkisar 270-an juta jiwa, maka rasio umum dokter spesialis terhadap penduduk adalah 1:5.230. Kelangkaan spesialis ini bervariasi dari satu bidang ke bidang lain. Beberapa bidang spesialis memang jumlah dokternya sangat kurang. Contohnya, spesialis bedah anak jumlahnya hanya 150 orang; rasionya terhadap jumlah anak adalah 1:600.000. Namun pada beberapa spesialisasi lain, jumlah dokternya cukup memadai. Jumlah dokter spesialis anak, kebidanan/kandungan, dan penyakit dalam, masing-masing telah melebihi 5 ribu dengan rasio terhadap penduduk 1:45.000.

            Banyak faktor penyebab kelangkaan dokter spesialis. Diantaranya adalah minimnya program pendidikan dokter spesialis. Dari sekitar 100 fakultas kedokteran di Indonesia, hanya 20 yang memiliki program pendidikan spesialis. Untuk spesialis tertentu, seperti bedah jantung, bedah saraf dan bedah anak, pusat pendidikannya hanya terhitung jari. Keterbatasan program ini disebabkan secara langsung oleh terbatasnya dosen atau instruktur yang memiliki kualifikasi pendidik. Padahal pendidikan spesialis mengharuskan tercapainya rasio adekuat antara jumlah pengajar dan peserta didik. Hambatan lain adalah kekurangan fasilitas dan sumber daya fisik untuk pelatihan klinis dan teoritis.

            Akibat minimnya program pendidikan, jumlah dokter yang melanjutkan pendidikan spesialis menjadi sangat terbatas. Dari semua lulusan dokter umum, hanya sekitar seperlima hingga seperempat yang terserap menjadi spesialis. Pendidikan spesialis juga membutuhkan waktu lama. Setelah dokter umum, dibutuhkan pendidikan tambahan 3-6 tahun. Proses panjang ini membutuhkan usaha serius dan biaya besar. Setelah menjadi dokter spesialis, sebagian besar dokter ini memilih bekerja di kota-kota besar atas alasan kesejahteraan. Ini manusiawi. Namun disisi lain, berkumpulnya dokter-dokter spesialis di kota-kota besar memicu  maldistribusi yang berkontribusi terhadap langkanya dokter spesialis didaerah-daerah. 

 

University Base vs Hospital Base

            Dokter spesialis umumnya diproduksi lewat dua model utama yaitu oleh universitas (university base) dan oleh rumah sakit (hospital base). Kedua model ini eksis dan established, dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Banyak negara yang menjalankan model university base dan banyak pula yang menggunakan hospital base. Hingga saat ini, berbagai negara-negara Eropa, Timur Tengah dan Asia menggunakan model university base. Sementara hospital base banyak digunakan dinegara-negara Inggris, Amerika dan Kanada. Setiap negara tentu punya alasan dan justifikasi mengapa mereka memilih university base atau hospital base. Justifikasi ini disesuaikan dengan sistem pendidikan dan kesehatan yang berlaku dinegara mereka, tingkat sosial ekonomi, magnitudo kebutuhan dokter serta aspek politik. Tidak ada jaminan bahwa model hospital base yang diterapkan di Amerika dan Inggris akan berhasil dan berjalan baik bila diterapkan dinegara-negara berkembang. Prinsip ‘one size fits all’ tidak berlaku.

            Upaya pemerintah memacu jumlah dokter spesialis lewat model hospital base ini tampaknya akan menemui beragam kendala krusial. 

            Pertama, dari 210 rumah sakit pendidikan yang ada di Indonesia, baru sepertiganya yang berstatus rumah sakit pendidikan utama dan dapat digunakan sebagai sentra penuh pendidikan spesialis. Yang lainnya masih bertaraf rumah sakit afiliasi dan satelit. Ironisnya, hampir semua rumah sakit pendidikan utama ini telah digunakan oleh dokter yang menjalani pendidikan spesialis lewat university base. Pemanfaatannya bahkan sudah sampai pada titik maksimal. Jika jumlah peserta ditingkatkan lewat hospital base akan terjadi penumpukan peserta didik dirumah sakit. Akibatnya, satu pasien akan dikerubuti banyak peserta pendidikan. Mereka tidak bisa menyelesaikan kewajiban menangani kasus sebagaimana yang distandarkan. Akan terjadi degradasi kualitas dan ketrampilan peserta. Ini tentu sangat berisiko. 

            Kedua, penyelenggaraan pendidikan spesialis memiliki persyaratan ketat. Tujuannya untuk menjamin bahwa dokter spesialis yang dihasilkan memiliki kualitas standar dan tidak membahayakan pasien. Persyaratan ketat ini meliputi harus terpenuhinya rasio mahasiswa dengan dosen, cukupnya jumlah pasien atau kasus yang ditangani, ketersediaan sarana penunjang seperti laboratorium, fasilitas klinis, alat-alat klinis dan perpustakaan. Apakah rumah sakit pendidikan yang digadang-gadang akan menjadi sentra pendidikan spesialis telah memenuhi persyaratan ini? Hal yang dikuatirkan adalah karena ingin mengebut produksi dokter spesialis, pemerintah mengabaikan standar-standar mutu dan kompetensi yang harus dipenuhi. Jika ingin membuka program tambahan hospital base, maka yang perlu ditingkatkan terlebih dahulu adalah fasilitas, sarana dan prasarana pada rumah sakit. Perlu ada penambahan dosen klinis yang memenuhi syarat (bergelar spesialis atau superspesialis), penambahan laboratorium, fasilitas klinis dan peralatan klinis yang digunakan serta kecukupan jumlah pasien dan kasus yang ditangani.

            Ketiga, penyelenggaraan dua model pendidikan spesialis dalam satu negara (hospital base dan university base) berpotensi menimbulkan dikotomi, dualisme dan konflik. Akan terjadi kompetisi antara rumah sakit dan universitas. Dalam beberapa kasus, program pendidikan spesialis di rumah sakit dan universitas dapat bersaing satu sama lain, terutama dalam hal sumber daya dan reputasi. Hal ini dapat menyebabkan ketidakharmonisan antara kedua program tersebut. Rumah sakit bisa saja membatasi fasilitasnya untuk mahasiswa yang masuk lewat  university base, sementara universitas akan membatasi keterlibatan stafnya untuk peserta hospital base. Lulusan spesialisnya juga dapat mengalami dikotomi dan bahkan konflik. 

            Keempat, model hospital base membatasi pengalaman klinis peserta program hanya pada kasus tertentu di rumah sakit tempat mereka menjalani pelatihan. Kondisi ini berbeda dengan sistem university base yang memungkinkan dokter menjalani pelatihan di beberapa rumah sakit pendidikan. Model hospital base cenderung fokus pada praktik klinis daripada aspek teoritis dan penelitian. Selain itu, ada potensi fragmentasi kualitas pelatihan antara dokter yang dilatih di rumah sakit pendidikan utama di kota-kota dan mereka yang dilatih di daerah-daerah.

 

Model Gabungan

            Kompleksnya issu pendidikan dokter spesialis ini mengharuskan kehati-hatian dalam pemacuan produksi dokter spesialis. Ketersediaan dan kecukupan dokter spesialis memang penting tetapi keamanan dan keselamatan pasien dan masyarakat jauh lebih penting. 

            Model hospital base memiliki banyak kendala dan sulit diterapkan dalam waktu dekat. Alternatifnya adalah melakukan akselerasi program pendidikan spesialis lewat jalur berbasis universitas. Lewat program ini, lebih 52 ribu dokter spesialis telah diproduksi dan mereka kini berbakti dinegeri ini. Universitas-universitas yang belum membuka program spesialis difasilitasi agar mampu menyelenggarakan program, termasuk dengan penambahan staf dan sarana. Universitas yang telah punya program difasilitasi agar dapat membuka program spesialis lainnya. Juga diberi penambahan kuota peserta. Misalnya, bila selama ini rasio pengajar terhadap mahasiswa 1:3 maka rasio ini dapat ditingkatkan 1:5. Ini jauh lebih baik dan mungkin karena telah tersedianya sistem dan struktur yang relevan pada tingkat universitas. 

            Alternatif lain adalah blended model; digabungkan antara wahana rumah sakit dengan universitas sebagai pusat afiliasi. Lewat model ini, 100-an rumah sakit afiliasi dan satelit yang telah memperoleh status rumah sakit pendidikan ditingkatkan sarana dan stafnya. Kemudian mereka diberi kesempatan membuka pendidikan spesialis sesuai dengan kapasitasnya. Kurikulumnya tetap mengacu kepada kurikulum yang dibuat oleh universitas. Pendidikan, pengawasan dan mentorship dilakukan oleh para dokter rumah sakit. Namun sebelumnya, tenaga-tenaga dokter ini diberikan pelatihan oleh universitas. 

            Peningkatan produksi dokter harus dilakukan dengan hati-hati. Mengadopsi model pendidikan dokter yang penuh kendala dapat membahayakan kualitas dan jumlah dokter spesialis. Jangan karena sangat bergairah memperbanyak dokter spesialis, kualitas luaranpun dikorbankan.

 

 

  • Iqbal Mochtar. Pengurus PB IDI dan PP IAKMI. Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia di Timur Tengah. 

Latar belakang penulis:

Dr. dr. Iqbal Mochtar, MPH, MOHS, DiplCard, DoccMed, SpOk, FRSPH

Pengamat masalah kesehatan. Dokter dan doktor bidang kedokteran dan kesehatan. 

Alumni Unhas, UGM, UI, Adelaide University dan Imperial College of Medicine, London. 

 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini
Hotline