Banner

Refleksi 116 Tahun HBDI: Dokter, Aset Bangsa dengan Nilai Historis

Di tengah hiruk pikuk kemajuan zaman, Hari Bakti Dokter Indonesia (HBDI) bagaikan sebuah oase yang menenangkan. Bertepatan dengan momen spesial ini, tepatnya pada tanggal 20 Mei, Anda akan diajak untuk merefleksikan kembali peran krusial dokter sebagai aset bangsa yang tak ternilai.

Lebih dari sekadar perantara untuk menyembuhkan penyakit, dokter memiliki nilai historis yang tak terpisahkan. Sejak era kolonialisme, dokter-dokter pribumi telah bahu-membahu memperjuangkan dan memajukan kesehatan rakyat.

116 tahun telah berlalu sejak Kongres Dokter Pertama di tahun 1908, menandai tonggak penting dalam perjalanan profesi kedokteran di Indonesia. Semangat juang dan dedikasi para dokter pendahulu patut menjadi inspirasi bagi generasi penerus untuk terus berkarya dan mengabdi demi bangsa.

Dr. Zaenal Abidin, MH.Kes

IDI Online melakukan wawancara langsung dengan dr. Zaenal Abidin, M.HKes yang juga pernah menjabat sebagai Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada periode 2012-2015. Simak ulasan lengkapnya! 

Hari Bakti Dokter Indonesia (HBDI) terinspirasi oleh gerakan Boedi Oetomo untuk meningkatkan pendidikan, dan menjadi pengingat bagi dokter untuk mengabdi kepada bangsa dan negara. Tema awal HBDI adalah "Dokter untuk Bangsa", yang mencerminkan semangat pengabdian ini yang dilakukan oleh dr. Wahidin dan kawan-kawan. 

Dikatakan dr. Zaenal, pada peringatan HBDI, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) biasanya menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk mengabdi kepada bangsa dan masyarakat.

“Namun, tahun ini mungkin fokusnya lebih pada urusan internal. Meskipun taglinenya bagus, tapi yetap perlu diperjelas program apa yang dapat disinergikan untuk bangsa,” katanya.

dr. Zaenal mengatakan jika salah satu tradisi HBDI adalah Pembebasan Jasa Medik, dimana dokter yang praktek pada tanggal 20 Mei membebaskan biaya medisnya. Namun, tradisi tersebut mungkin sudah tidak relevan lagi di era BPJS seperti sekarang ini, dimana sebagian besar rakyat Indonesia sudah memiliki jaminan kesehatan.

“Sebagai gantinya, HBDI dapat diisi dengan kegiatan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat, seperti bakti sosial atau penggalangan dana pendidikan. Mengingat tingginya biaya pendidikan, termasuk sekolah kedokteran, kegiatan seperti ini dapat membantu meringankan beban masyarakat,” ujar dokter kelahiran Soppeng, Sulawesi Selatan, Indonesia, 5 April 1965 ini. 

Berbicara soal Hari Bakti Dokter Indonesia, menurut dr. Zaenal, sebaiknya jangan hanya diisi oleh seminar-seminar dari dokter untuk dokter, akan tetapi kita juga harus bicara soal rakyat Indonesia. Kini, fokus HBDI bisa dialihkan ke kegiatan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat luas. Bakti sosial dan penggalangan dana pendidikan bisa menjadi alternatif yang tepat. Biaya pendidikan yang tinggi, termasuk sekolah kedokteran, menjadi beban bagi banyak orang.

“Kalau dulu kita menggratiskan jasa medis, tapi kalau untuk sekarang kan semua rakyat Indonesia mungkin sudah terdaftar dalam BPJS, tentunya jaminan jasa medisnya sudah ada yang menanggung, dan yang miskin sudah memiliki jaminan dari negara. Jadi, ketika BPJS sudah beroperasi, maka pembebasan jasa medis kala itu sudah tidak relevan lagi. Mungkin bisa dialihkan dengan yang lain, seperti bakti sosial, penggalangan dana pendidikan, dan lain-lain. Apalagi saat ini sekolah dokter itu mahal, bahkan sekolah bukan kedokteran juga mahal. Maka dengan adanya penggalangan dana seperti yang dilakukan oleh dr. Wahidin dan kawan-kawan, kita bisa membantu orang-orang di luar sana,” jelas dr. Zaenal. 

dr. Zaenal juga menambahkan jika dulu ada dokter kecil yang hampir 10 tahun eksis. Ada juga ada expo, meskipun memang hanya untuk internal dari dokter untuk dokter yang mana isinya menyampaikan tentang seberapa besar kedokteran dan rumah sakit di Indonesia. 

“Ada beberapa kegiatan yang dilakukan ketika itu, seperti menanam pohon, dan melakukan hal-hal yang berguna bagi masyarakat Indonesia. Kalau kita  berbicara soal sinergi, maka harus ada kita bersinergi dengan siapa, dan melakukan apa, harus konkrit dengan tema yang diusung sekarang. Kalau dulu kami bersinergi dengan pemerintah dan swasta, makanya dulu kita membuat film dokumenter tentang dokter Indonesia karena dulu bersinergi dengan pihak swasta yang membantu,” paparnya. 

Harapan untuk 116 Tahun Hari Bakti Dokter Indonesia 

Pada peringatan HBDI ke-116 tentunya bisa menjadi momentum yang tepat untuk menyatukan tekad dan menguatkan komitmen para dokter, pemangku kepentingan, dan seluruh elemen masyarakat dalam mewujudkan masa depan kesehatan yang lebih gemilang. 

dr. Zaenal kemudian sedikit mengenang bagaimana momen HBDI pertama sampai 10 tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menurutnya saat itu hubungan pemerintah dengan IDI sangat bagus dan sedang tinggi-tingginya. 

“Apalagi Presiden SBY mau menerima dan mengumumkan kalau 20 Mei diperingati sebagai HBDI dan itu adalah penghargaan yang sangat tinggi terhadap dokter dan tema yang saat itu diajukan. Bahkan 1 tahun sebelum 1 Abad Hari Kebangkitan Nasional, IDI sudah lebih dulu menyongsong Seabad Hari Kebangkitan Nasional. Kami menyampaikan bahwa IDI sekarang membuat kegiatan diskusi publik setiap bulan dan melakukan bakti sosial dalam menyambut Seabad Hari Kebangkitan Nasional dan Hari Bakti Dokter Indonesia,” terangnya. 

dr. Zaenal juga mengungkapkan jika ketika itu Pak SBY juga mengajukan kepada Mensesneg untuk memasukkan kegiatan IDI sebagai bagian dari kegiatan negara dalam menyambut seabad Hari Kebangkitan Nasional. 

“Pada 28 Mei IDI diterima di Istana Negara. Saat itu bisa dibilang hubungan baik antara IDI dan pemerintah itu sangat baik, dan itu terjadi selama 10 tahun masa kepemimpinan SBY. Dokter Kecil Award juga diberikan langsung oleh Bu Ani Yudhoyono. IDI juga kerap diundang jika ada rapat kabinet terbatas,” bebernya. 

Walaupun demikian, dr. Zaenal berkata jika saat ini kita tidak tahu ke depan apakah hubungan baik antara IDI, profesi dokter, dan pemerintah akan berjalan kembali dan membaik atau bagaimana. 

“Meskipun begitu, kita tetap harus berbuat yang terbaik untuk bangsa, negara, dan masyarakat. Semoga ke depan pemerintah tetap bisa melihat bahwa IDI dan dokter Indonesia adalah aset bangsa dan negara yang memiliki nilai historis,” tutupnya. 

Dokter adalah Aset Bangsa yang Memiliki Nilai Historis 

Profesi dokter memiliki nilai historis yang tak ternilai bagi bangsa dan negara. Dedikasi dan pengabdian para dokter telah mengantarkan Indonesia menuju masa depan yang lebih sehat.

Meskipun saat ini hubungan antara IDI, profesi dokter, dan pemerintah bisa dikatakan masih belum pulih sepenuhnya, akan tetapi semangat untuk mengabdi tidak boleh padam. Dokter tetap harus terus berbuat yang terbaik untuk bangsa, negara, dan masyarakat.

Mari kita jadikan momen ini sebagai titik balik untuk menjalin kembali kerjasama yang harmonis. Dengan komunikasi yang terbuka, saling pengertian, dan kepedulian bersama, kita dapat mewujudkan masa depan kesehatan yang lebih cerah dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Satu IDI Terus Maju! 

Bagikan Artikel Ini
Hotline