Banner

Refleksi Hari Kartini: Belajar Angka Kematian Ibu dari R. A Kartini

Penulis: Trisha Alya Rahmi, Member of Foreign Affair Division JDN IDI

Setiap tahun di Bulan April, di seluruh negeri ini Kartini diperingati oleh kaum perempuan Indonesia. R.A Kartini lahir di Mayong, Jepara pada 21 April 1879. Beliau merupakan cucu dari Pangeran Ario Tjondronegoro, Bupati Demak, yang mendidik anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan dengan pelajaran Barat.

Pada saat itu, adat membatasi pergerakan perempuan yang mana mereka tidak memperbolehkan perempuan untuk belajar, bekerja di luar rumah, dan menduduki jabatan dalam masyarakat. Pelabuhan yang boleh dipilih oleh perempuan pada masa itu adalah menikah dan melakukan pekerjaan rumah. Perempuan itu cuma wajib mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Anak gadis itu dididik supaya menjadi budak oleh laki-laki. Jika sudah berusia 12 tahun, hanya boleh berdiam di dalam rumah. Sejak beliau usia 12 tahun, R. A Kartini dipingit, lebih tepatnya tidak diizinkan keluar-keluar. 

Penulis: Trisha Alya Rahmi

R.A Kartini lah yang memperjuangkan hak-hak perempuan dari kesengsaraan tersebut. Beliau mengubah kedudukan perempuan. Pada saat berusia 25 tahun, setelah melahirkan anak laki-laki pertamanya, R.A Kartini meninggal dunia diduga karena Preeklampsia. 

Angka Kematian Ibu (AKI) adalah angka kematian perempuan pada saat hamil atau kematian dalam kurun waktu 42 hari sejak terminasi kehamilan. Secara nasional, berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus 2015. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sebenarnya telah menurun, dari yang tadinya 305 kematian per 100.000 Kelahiran Hidup menjadi 189 kematian per 100.000 Kelahiran Hidup, berdasarkan data Sensus Penduduk 2020. Dari data tersebut bisa diartikan adanya sebuah penurunan yang signifikan, bahkan jauh lebih rendah dari target di tahun 2022 yaitu 205 kematian per 100.000 Kelahiran Hidup. 

Hal tersebut harus tetap dipertahankan, bahkan didorong menjadi pencapaian yang  lebih baik lagi untuk mencapai target di tahun 2024 yakni 183 Kematian per 100.000 Kelahiran Hidup. Adapun tiga penyebab utama kematian ibu, di antaranya hipertensi (33,07 persen), perdarahan obstetri (27,03 persen) dan komplikasi non obstetrik (15,7 persen). WHO memperkirakan kasus preeklampsia di negara berkembang terjadi 7 kali lebih tinggi daripada di negara maju.

Selain itu, salah satu penyebab dari preeklampsia juga disebabkan oleh rendahnya kuantitas dan kualitas antenatal care (ANC) di Indonesia, serta tidak adanya evaluasi skrining aktif terhadap risiko terjadinya preeklampsia sehingga upaya pencegahan preeklampsia tidak optimal menyebabkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas dari preeklampsia.

 

Apa Itu Preeklampsia?

Preeklampsia merupakan suatu kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi yang disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20 minggu.

 

Gejala  Preeklampsia 

Berikut beberapa gejala preeklampsia yang biasanya kerap dirasakan: 

  • Sakit kepala berat

  • Gangguan penglihatan, contoh pandangan kabur atau sensitif terhadap cahaya
  • Terasa nyeri di bagian ulu hati atau perut bagian kanan atas
  • Pusing dan merasa lemas
  • Mengalami sesak napas 
  • Frekuensi buang air kecil dan volume urine menurun
  • Mual-mual dan muntah
  • Pembengkakan pada bagian tungkai, tangan, wajah, dan beberapa bagian tubuh lainnya
  • Berat badan naik drastis secara tiba-tiba

 

Cara Mencegah Preeklampsia

  1. Pencegahan Primer

Preeklampsia bisa dicegah melalui pencegahan primer yakni evaluasi faktor resiko. Praktisi kesehatan diharapkan dapat mengidentifikasi faktor risiko preeklampsia dan mengontrolnya. Faktor resiko yang dapat dinilai pada saat kunjungan antenatal pertama yakni sebagai berikut: 

  • Umur > 40 tahun

  • Nulipara

  • Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya

  • Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru

  • Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih

  • Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan

  • Kehamilan multiple

  • IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)

  • Hipertensi kronik

  • Penyakit Ginjal

  • Sindrom antifosfolipid (APS)

  • Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio

  • Obesitas sebelum hamil

 

  1. Pencegahan Sekunder 

Preeklampsia bisa juga dicegah dengan pencegahan sekunder yang meliputi beberapa hal di bawah ini: 

  • Istirahat di rumah 15 menit selama 2 kali sehari, ditambah dengan suplementasi nutrisi. Hal ini bisa  menurunkan risiko preeklampsia atau istirahat di rumah selama 4 jam hari yang mana dapat menurunkan risiko preeklampsia dibandingkan tanpa pembatasan aktivitas

  • Penggunaan aspirin dosis rendah (75mg/hari) juga direkomendasikan untuk prevensi preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi. Aspirin dosis rendah sebagai prevensi preeklampsia sebaiknya mulai digunakan sebelum usia kehamilan 20 minggu.

  • Suplementasi kalsium minimal 1 g/hari direkomendasikan terutama pada wanita dengan asupan kalsium yang rendah.

Peringatan Hari Kartini sesungguhnya memberikan pelajaran berharga, khususnya  bagi seluruh perempuan di Indonesia. Selain usaha beliau yang memperjuangkan hak-hak perempuan di Indonesia, kisah hidup R.A Kartini juga memberikan pelajaran bagi kita semua. Oleh karena itu, penting sekali untuk menjaga kesehatan pada wanita, melakukan ANC, serta skrining resiko preeklampsia untuk membantu menurunkan Angka Kematian Ibu di Indonesia. Jangan sampai kisah R. A Kartini nantinya terulang pada Kartini-Kartini lain di era sekarang. 

 

Bagaimana Sebenarnya Penyebab Kematian Kartini? 

Kartini meninggal dunia pada 17 September 1904, empat hari pasca melahirkan putra tunggalnya, Raden Mas Soesalit. Hal ini kemudian banyak menimbulkan spekulasi dan kecurigaan apa yang sebenarnya menyebabkan tokoh emansipasi perempuan tersebut berpulang. 

Dikutip dalam buku karya Efatino Febriana yang berjudul Kartini Mati Dibunuh, dia pun  mencoba untuk menggali fakta-fakta terkait kematian Kartini. Setelah menggali banyak hal, dia mendapatkan kesimpulan jika kematian Kartini sudah direncanakan. Kesimpulan tersebut diperkuat pula oleh Sitisoemandari dalam bukunya berjudul yang berjudul  Kartini, Sebuah Biografi. Dalam buku tersebut dituliskan jika Kartini meninggal dunia lantaran permainan jahat Belanda. Dimana Belanda ingin membungkam pemikiran-pemikiran progresif dan revolusioner Kartini yang pada saat itu sangat concern dengan isu-isu perempuan dan berwawasan kebangsaan.

Dikutip dari artikel Tempo, berdasarkan penelusurannya,  memang ditemukan hipotesis jika Kartini meninggal karena diracun. Jika Djojohadiningrat tengah mendampingi Kartini pada 17 September 1904 silam di kamar utama Kadipaten berukuran 5 x 6 meter. Padahal Kartini baru saja dinikahi olehnya sekitar 10 bulan. Namun, sang istri harus berpulang untuk selama-lamanya. Djojohadiningrat juga mengungkapkan jika sebelum meninggal dunia, istrinya diketahui masih sehat walafiat, tapi sempat mengeluh jika perutnya tegang. 

Setelah itu, Van Ravesteijn, seorang dokter sipil dari Pati, datang untuk memberikan obat kepada Kartini. Alih-alih membaik,  tiba-tiba Kartini mengeluh perutnya terasa tegang dan 30 menit kemudian dinyatakan meninggal dunia. 

Beberapa hari sebelumnya, di tempat tidur yang sama, dengan bantuan yang sama dari Ravesteijn, Kartini melahirkan satu-satunya anaknya, Raden Mas Soesalit. Walaupun sehari sebelumnya dia telah merasakan kontraksi, dokter sipil langganannya, Bouman, tidak tersedia di Rembang saat itu, sehingga Djojoadiningrat harus memanggil Ravesteijn dari Pati, 35 kilometer jauhnya, meskipun sang dokter baru bisa tiba keesokan harinya.

Sejak pagi hingga sore hari, persalinan Kartini tidak berhasil, sehingga Ravesteijn menggunakan alat bantu yang tidak jelas kegunaannya. Baru sekitar pukul 21.30 malam, Kartini berhasil melahirkan dengan selamat. Djojoadiningrat menggambarkan kondisi Kartini saat itu baik-baik saja, kecuali ketegangan perut. Malam itu juga, tanpa kecemasan, Ravesteijn kembali ke Pati. 

Pada hari keempat, Ravesteijn kembali untuk memeriksa Kartini, menyatakan bahwa kondisinya baik. Kemudian, dia memberikan obat kepada Kartini. Sekitar 30 menit setelah Ravesteijn pergi, Kartini mulai merasa sakit perut, sehingga Bupati memerintahkan orang untuk memanggil dokter lagi. Sayangnya, ketika dokter tiba, kondisi Kartini sudah memburuk.

 

Pencegahan Preeklampsia untuk Mengurangi Angka Kematian Ibu 

Angka Kematian Ibu (AKI) dan bayi memang jadi dua indikator yang umum digunakan untuk menentukan derajat kesehatan di suatu negara. Untuk di Indonesia sendiri, hal ini perlu dijadikan perhatian, sebab Angka Kematian Ibu (AKI) berada di posisi tiga besar pada tingkat ASEAN. 

Menurut data yang didapatkan dari Sensus Penduduk 2020, Angka Kematian Ibu (AKI) yang melahirkan mencapai 189 per 100 ribu kelahiran hidup. Angka ini lah yang kemudian membuat Indonesia berada di posisi kedua, yang mana tertinggi di ASEAN. Posisinya jauh melampaui negara Malaysia, Brunei, Thailand, dan Vietnam yang angkanya berada di bawah 100 per 100 ribu kelahiran hidup.

Selain itu, berdasarkan data yang dilansir dari Maternal Perinatal Death Notification (MPDN), sistem pencatatan kematian ibu Kementerian Kesehatan ditemukan data jika pada 202, jumlah angka kematian ibu mencapai 4.005 dan di tahun 2023 mengalami peningkatan menjadi 4.129. Sedangkan data terkait angka kematian bayi pada 2022 ada sebanyak 20.882 dan pada  2023 tercatat sebanyak 29.945.

Adapun penyebab tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia disebabkan oleh preeklampsia dan pendarahan. Ada 1 dari 10 perempuan yang setidaknya mengalami preeklampsia. Dimana kondisi ini dialami lebih dari 10 juta perempuan per tahunnya. Lalu, disusul dengan lebih dari 2,5 juta kelahiran prematur yang juga disebabkan oleh preeklampsia.

Berdasarkan data dari International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy dan Preeclampsia Foundation, preeklampsia sendiri menyebabkan  76.000 kematian ibu dan 500.000 bayi per tahunnya. Walaupun begitu, kematian karena faktor yang satu ini bisa dicegah dengan cara mendeteksi faktor risiko pada ibu hamil atau perempuan yang tengah merencanakan kehamilan. 

Dengan adanya pencegahan ini, para ibu hamil, pasangan suami istri, hingga anggota keluarga di luar sana bisa lebih aware akan bahaya preeklampsia jika sudah mengenali gejala-gejala yang dirasakannya. Untuk mendeteksi faktor risiko preeklampsia bisa dilakukan dengan cara berkonsultasi lebih lanjut dengan dokter kandungan. Harapannya ketika masyarakat atau Kartini the next generation bisa mendapatkan penanganan lebih awal sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. 

Namun, jika perempuan sudah terdeteksi memiliki riwayat preeklampsia, mereka disarankan untuk melakukan pemeriksaan secara rutin, diikuti dengan konseling kesehatan 6 bulan sebelum kehamilan, dan konsumsi asam folat sejak 6 bulan sebelum masa kehamilan. 

Kematian Kartini menjadi hal yang begitu mengejutkan. Walaupun sampai saat ini penyebab kematian Kartini bisa dibilang masih jadi tanda tanya, akan tetapi preeklampsia beserta hal-hal lain yang beririsan dengannya tetap perlu diantisipasi oleh para perempuan yang nantinya akan menjadi generasi penerus Kartini. Penting sekali untuk memahami lebih jauh terkait preeklampsia, supaya para perempuan bisa lebih bersiap diri menghadapi segala sesuatu yang mungkin bisa terjadi di kemudian hari. Mari merefleksi sosok Kartini bukan hanya dari pemikiran dan idealismenya saja, akan tetapi juga dari hal-hal lain yang di masa sekarang bisa dijadikan pembelajaran. Semoga kita semua tidak pernah lelah untuk terus belajar dan bertumbuh! 

 

Sumber:

  1. R. A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang: terjemahaan Armijn Pane – Cetakan 27, Jakarta Balai Pustaka 2009

  2. Riskesdas Nasional Tahun 2023

  3. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Diagnosis dan Tatalakasana Pre-Eklampsia, Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016

  4. Pencegahan Preeklampsia Kunci Menekan Angka Kematian Ibu, Kompas, 2021

Bagikan Artikel Ini
Hotline